Freeport, Janji Palsu dan Ancaman Investasi

Retakshare - Seperti dilansir VoA Indonesia, saat mendampingi Presiden Jokowi pada acara di Wisma Tilden, Washington DC, pada minggu sore (25/10) Menteri ESDM Sudirman Said kembali menggembar-gemborkan rencana bisnis 18 miliar dollar AS dari Freeport. Hal ini merupakan perulangan dari isi surat Sudirman Said kepada James Moffett yang ditembuskan ke Presiden Jokowi pada 7 Oktober 2015, yang menyatakan bahwa PTFI berkomitmen untuk berinvestasi sebesar 18 miliar dollar AS bila kontraknya diperpanjang Pemerintah Indonesia setelah tahun 2021.Angka 18 miliar dollar AS ini, atau sekitar Rp 234 triliun (asumsi kurs tahun 2021 tetap Rp13.000/USD), memang sangat besar bila dibandingkan dengan total APBN Indonesia yang tahun 2015 ini sebesar Rp 1.761 triliun (mencapai 13,3%-nya). Wajar bila muncul analisa dari Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki yang menyebutkan, bahwa bila tidak ada investasi dari PTFI maka APBN terancam kolaps karena nilai investasinya sebesar seperempat (25%) APBN. Meskipun kita kemudian bertanya-tanya darimana angka 25% APBN ini. Mungkinkah dalam menghitungnya Teten masih gunakan besaran APBN Rp 1000 triliun?
Namun ternyata tidak semengkhawatirkan itu. Karena ternyata angka investasi 18 miliar dollar AS yang disebut-sebut bukanlah investasi yang diberikan di muka, melainkan investasi yang dicicil selama 20 tahun, dari tahun 2021 hingga tahun 2040. Jadi sangat tidak tepat bila investasi selama 20 tahun diperbandingkan dengan nilai APBN setahun, seperti yang dilakukan Teten.
Juga tidak semuluk-muluk itu. Cicilan itu sebenarnya diperoleh/disisihkan PTFI dari hasil penjualan konsentrat yang ditambang dari Bumi Indonesia sendiri. Hal ini merupakan kesaksian dari eks Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) ESDM R. Sukhyar belum lama. Berikut akan kami coba sampaikan bukti perhitungan sederhananya yang bersumber dari data aliran kas PTFI.
Pada tahun 2012 PTFI mengalokasikan pengeluaran modal (capex –capital expenditure) sebesar 966 juta dollar AS, saat hasil penjualan mereka 4,18 miliar dollar AS. Adapun pada tahun 2013 PTFI mengalokasikan capex naik menjadi sebesar 1,4 milar dollar AS, itu saat penjualan mereka naik menjadi 6,183 miliar dollar AS.
Karena naik turunnya penjualan sangat bergantung pada harga pasar emas dan tembaga dunia, yang juga mempengaruhi besaran capex, maka diambil skenario terburuk, yaitu penjualan pada tahun 2021 adalah serendah penjualan tahun 2012, serta diasumsikan nilai penjualan akan tetap sampai tahun 2040. Artinya nilai capex per tahun sejak 2021 hingga 2040 pun akan tetap sebesar 966 juta dollar AS.
Kemudian, bila nilai capex ditotalkan sejak 2021 hingga 2040: 966 juta dollar AS pertahun dikalikan 20 tahun, maka nilainya menjadi 18,2 miliar dollar AS. Angka ini lah yang digembar-gemborkan sebagai rencana investasi PTFI bila kelak kontraknya diperpanjang pada tahun 2021.
Namun di atas dari semuanya, kita harus sangat berhati-hati agar kontrak dengan Freeport ini tidak mengulang kesalahan kita dengan BHP Billiton. Seperti diketahui, BHP Billiton adalah perusahaan asing yang beruntung memiliki salah satu cadangan batubara terbesar di Indonesia dengan kalori sangat tinggi (kualitas coke untuk industri baja). Modusnya adalah setiap kali kontraknya akan selesai, BHP billiton selalu menawarkan investasi miliaran dollar AS dan mengancam tidak akan melakukan investasi bila kontraknya tidak diperpanjang pemerintah. Namun setelah kontrak diperpanjang berkali-kali, ternyata janji BHP Billiton adalah palsu belaka dan ancamannya hanya macan kertas, karena hingga kini kenyataannya tidak pernah ada investasi besar dari BHP Billiton.